Dua Kelompok Ekstrim dalam Menyikapi
Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Ma’asyirol
muslimin rahimani wa rahimakumullah
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam,
atas nikmat dan hidayah-Nya, atas segala pedoman hidup yang telah diajarkan
kepada kita melalui para Nabi-Nya, yang memerintahkan kita untuk senantiasa
terus bertakwa kepada Allah SWT.
Maka senantiasa dalam mengawali khutbah para
khatib berwasiat kepada diri kita semua untuk meningkatkan ketakwaan kepada
Allah SWT. sebagaimana firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102).
Shalawat dan salam tetap tercurah pada Nabi
kita Muhammad SAW atas segala perjuangan, pengrobanan menegakkan diinul islam,
maka menjadi suatu keutamaan bagi kita untuk senantiasa mengucap shalawat
kepadanya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى عَلَىَّ وَاحِدَةً صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali,
maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim, no. 408)
Ma’asyirol
muslimin rahimani wa rahimakumullah
Amar
ma’ruf adalah mengajak pada kebaikan, sedangkan nahi mungkar adalah melarang
dari kemungkaran. Dua sifat ini telah dipuji dalam firman Allah Ta’ala,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali
Imron [3] : 110)
Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa dari umat ini yang memiliki sifat
semacam ini (yaitu beramar ma’ruf, nahi mungkar dan beriman kepada Allah), maka
dia termasuk dalam pujian yang disebutkan dalam ayat ini. Namun sebaliknya,
barangsiapa yang tidak memiliki sifat semacam ini, maka dia memiliki keserupaan
dengan ahli kitab. Allah telah mencela mereka (ahlu kitab) sebagaimana yang
disebutkan dalam ayat,
كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ
مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ
“Mereka
satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.” (QS. Al
Ma’idah [5] : 79).”
DUA KELOMPOK EKSTRIM DALAM MENYIKAPI
AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR
Dalam menyikapi amar ma’ruf nahi mungkar terdapat dua kelompok
ekstrim dalam agama ini. Hal ini diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dalam kitabnya yang sangat ber faedah yaitu ‘Al Amru bil Ma’ruf
wan Nahyu ‘anil Mungkar‘ dan insya Allah pada pembahasan kali ini kami banyak
merujuk pada kitab beliau tersebut.
1.
Kelompok
pertama, adalah kelompok yang meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar.
2.
Kelompok
kedua, adalah kelompok yang berlebihan dalam beramar ma’ruf nahi
mungkar baik dengan lisan dan tangannya tanpa berlandaskan ilmu, kelembutan,
sikap sabar dan tanpa menimbang maslahat dan mudhorot (bahaya), atau tanpa mau
melihat apakah dia mampu melakukan hal itu atau tidak.
Sikap yang benar adalah
sikap pertengahan yaitu tetap melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, namun dengan
memperhatikan beberapa aturan syari’at yang ada.
MERUBAH KEMUNGKARAN DENGAN TANGAN,
LISAN DAN HATI
Dari Abu
Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا
فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa
di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan
tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya.
Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Hadits Abu
Sa’id ini menjelaskan mengenai tingkatan dalam mengingkari kemungkaran. Hadits
ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa yang mampu untuk merubah
kemungkaran dengan tangannya, maka wajib dia menempuh cara itu. Namun perlu
diperhatikan bahwa hal ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki
kemampuan/ kekuasaan terhadap orang yang berada di bawahnya dan bukan sembarang
orang boleh merubah dengan tangannya. Contoh orang semacam ini adalah penguasa
dan bawahan yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Atau
bisa juga hal itu dikerjakan oleh seorang kepala rumah tangga pada keluarganya
sendiri.
Apabila
seseorang bukan tergolong orang yang berhak merubah kemungkaran dengan
tangannya, maka kewajiban ini beralih dengan menggunakan lisan yang memang
mampu dilakukannya. Kalau pun untuk itu tidak sanggup, maka dia tetap
berkewajiban untuk merubahnya dengan hati dan inilah selemah-lemah iman.
Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan cara membenci kemungkaran
tersebut. (Lihat Fathul Qowil Matiin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr,
pada hadits no. 34)
MEMPERTIMBANGKAN ANTARA MASLAHAT DAN
MUDHOROT (BAHAYA)
Dalam
kitab Syarh Arba’in An-Nawawiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan,
“Jika
suatu kemungkaran bisa hilang secara keseluruhan atau sebagiannya saja, maka
pada kondisi ini, hukum melarang kemungkaran menjadi wajib. Jika kemungkaran
yang dihilangkan itu berpindah kepada kemungkaran lain yang semisal, maka
merubah kemungkaran perlu ditinjau lagi. Namun jika kemungkaran yang
dihilangkan malah akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka dalam hal
ini melarang kemungkaran menjadi haram”. (Lihat Syarh Arba’in An Nawawiyah,
Syaikh Ibnu Utsaimin, hadits no. 25)
Dalil yang
menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran secara keseluruhan atau sebagian
adalah wajib dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali
Imron [3] : 104)
Sedangkan
dalil yang menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran menjadi haram jika
menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar dapat dilihat pada firman Allah,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ
مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al
An’am [6] : 108)
Ibnul
Qoyyim rahimahullah menjelaskan, “Jika mengingkari kemungkaran menimbulkan
suatu kemungkaran yang lebih besar dan menimbulkan sesuatu yang dibenci Allah
dan Rasul-Nya, maka tidak boleh merubah kemungkaran pada saat itu, walaupun
Allah membenci pelaku kemungkaran dan mengutuknya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/4)
3 BEKAL AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR
Setelah
mengetahui hukum, cara, menimbang baik dan buruk. Sebuah faedah ilmu dari Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Beliau memberikan nasehat bagaimana kita seharusnya
beramar ma’ruf nahi mungkar yaitu mengajak pada kebaikan dan melarang dari
kemungkaran.
Syaikhul
Islam mengatakan,
“Orang yang ingin beramar ma’ruf nahi mungkar
semestinya memiliki tiga bekal yaitu: [1] ilmu, [2] lemah lembut, dan [3]
sabar. Ilmu haruslah ada sebelum amar ma’ruf nahi mungkar (di awal). Lemah
lembut harus ada ketika ingin beramar ma’ruf nahi mungkar (di tengah-tengah).
Sikap sabar harus ada sesudah beramar ma’ruf nahi mungkar (di akhir).”
1.
Pertama:
Bekal Ilmu di Awal
‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz mengatakan,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ
كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلُحُ
“Barangsiapa yang beribadah pada Allah tanpa
ilmu, maka ia akan membuat banyak kerusakan dibanding mendatangkan banyak kebaikan.”
2.
Kedua:
Lemah Lembut di Tengah-Tengah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Dalam amar ma’ruf nahi mungkar hendaklah ada sikap lemah lembut.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِى
شَىْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَىْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya jika lemah lembut itu ada dalam
sesuatu, maka ia akan senantiasa menghiasanya. Jika kelembutan itu hilang, maka
pastilah hanya akan mendatangkan kejelekan.” (HR. Muslim no. 2594)
3.
Ketiga:
Bersabar di Akhir
Setelah melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, haruslah ada sikap
sabar terhadap setiap gangguan. Syaikhul Islam mengatakan, “Setiap orang yang
ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar pastilah mendapat rintangan. Oleh
karena itu, jika seseorang tidak bersabar, maka hanya akan membawa dampak
kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”
Luqman
pernah mengatakan pada anaknya,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ
“Dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS.
Luqman: 17)
KHUTBAH KEDUA
URUSILAH DIRI KALIAN SENDIRI, TIDAK
USAH CAMPURI URUSAN ORANG LAIN
Sikap
seperti ini tidaklah tepat dan tidak bijak. Orang yang bijak adalah yang tetap
melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, namun tentu saja dengan memperhatikan
koridor syari’at.
Mungkin ada
yang salah paham dengan ayat berikut,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman urusilah diri kalian sendiri. Tidak akan membahayakan
kalian orang yang sesat itu apabila kalian sudah berada di atas petunjuk.” (QS. Al
Ma’idah [5] : 105).
Maksud
ayat ini adalah, “Apabila kalian telah melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi
mungkar yang dituntut oleh agama ini berarti kalian telah menunaikan kewajiban
yang telah dibebankan pada kalian. Setelah hal itu kalian kerjakan, maka tidak
akan merugikan orang yang sesat itu selama kalian tetap mengikuti petunjuk”
(Lihat Adwa’ul Bayan mengenai tafsiran ayat ini). Jadi bukan berarti kita
meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar sama sekali. Kalau kita sudah melakukan
hal ini, namun tidak diindahkan, maka orang-orang yang sesat itu tidak akan
membahayakan diri kita atas seijin Allah.
Nasehat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di mana beliau rahimahullah berkata,
“(Ketahuilah
bahwa) meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar adalah suatu
kemaksiatan. Jika kita membiarkan kemaksiatan tanpa mau melarangnya, maka ini
berarti kita telah berpindah dari kemaksiatan yang satu ke kemaksiatan yang
lainnya. Dan ini sama saja dengan berpindah dari agama (ajaran) yang bathil ke
ajaran yang bathil lainnya.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar,
hal. 18)
اِنَّ اللهَ
وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ
وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ
وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ
إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ
الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ
الدَّعْوَةِ
اللَّهُمَّ أَلِّفْ
بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا
مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا،
وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا
مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
اللَّهُمَّ إنَّا
نَسْأَلُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
رَبَّنَا آتِنَا
فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى
نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى
يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا
أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Klaten, 27 Mei 2022
Dibuat
oleh : Amirul Huda Syaifullah