Menyikapi Sifat Ragu dengan Benar
Dalam syariat kita, yang ragu-ragu itu ditinggalkan, diperintahkan bagi kita untuk mengambil yang yakin. Lihat penjelasan dalam hadits #11 dari Hadits Arbain karya Imam Nawawi.
عَنْ أَبِي
مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ
مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى
مَا لاَ يَرِيْبُكَ.
Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi
Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu
lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR.
Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR.
Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih]
Penjelasan Hadits
Kata “دَعْ” artinya
tinggalkanlah. Sedangkan “مَا يَرِيْبُكَ”
adalah sesuatu yang meragukanmu. Adapun “إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ” adalah sesuatu yang tidak meragukanmu.
Hadits ini termasuk jawami’ul kalim,
kalimat yang singkat namun padat. Dan para ulama jadikan ini sebagai kaidah
dalam fikih.
Faedah Hadits
·
Agama Islam tidak menghendaki umatnya
memiliki perasaan ragu dan bimbang.
·
Jika Anda menginginkan ketenangan dan
ketentraman, tinggalkanlah keraguan dan buang jauh-jauh, terutama setelah
selesai melaksanakan suatu ibadah sehingga engkau tidak merasa gelisah.
·
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyampaikan sesuatu dengan singkat, namun begitu luas
maknanya. Kata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Seandainya seseorang membuat penafsiran
atau penjelasan mengenai hadits ini dalam satu jilid buku yang sangat tebal,
niscaya kandungan dua kalimat ini akan melebihinya.”
·
Syari’at Islam itu membawa kemudahan.
·
Hadits ini mengandung pelajaran agar
kita diam terhadap perkara syubhat dan meninggalkannya. Kalau sesuatu yang
halal tentu akan mendatangkan ketenangan, sedangkan sesuatu yang syubhat
mendatangkan keragu-raguan. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:280.
·
Bentuk wara’ (meninggalkan perkara
haram dan syubhat) adalah meninggalkan sesuatu yang ragu-ragu lalu mengambil
yang tidak meragukan. Hal ini dikatakan oleh Abu ‘Abdirrahman Al-‘Umari,
seorang yang terkenal zuhud. Hal ini dikatakan pula oleh Al-Fudhail, Hasan bin
Abi Sinan. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:280.
·
Dari sekelompok sahabat seperti Umar,
Ibnu ‘Umar, Abu Ad-Darda’, dan Ibnu Mas’ud mengatakan, “Apa yang engkau
inginkan dari hal yang masih meragukan padahal di sekelilingmu ada 4.000 hal
yang tidak meragukan.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam,
1:280)
· Sebagian ulama berdalil dengan hadits ini bahwa keluar dari perselisihan ulama itu lebih afdal. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1:282.
Kaidah
Fikih: Yakin Tidak Bisa Dikalahkan dengan Keraguan
Dalam shahih Bukhari-Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ
حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Janganlah berpaling hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.”
(HR. Bukhari, no. 177 dan Muslim, no. 361).
Imam Nawawi rahimahullah berkata
mengenai hadits di atas, “Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling
sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati
kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum
muslimin (ijmak). Hadits ini menjadi landasan suatu kaidah dalam Islam dan
menjadi kaidah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu
yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-tiba, maka
tidak membahayakan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:47).
Dari hadits di atas, dapat diambil suatu kaedah yang biasa
disebutkan oleh para ulama,
اليقين لا يزول
بالشك
“Yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu.”
Imam Al Qorofi dalam kitab Al Furuq mengatakan, “Kaedah ini telah disepakati
oleh para ulama. Maksudnya adalah setiap ragu-ragu dijadikan seperti sesuatu
yang tidak ada yang dipastikan tidak adanya.”
Ragu
Apakah Keluar Kentut
Sebagian orang dalam shalatnya merasa ada sesuatu yang keluar
bagian belakangnya, apakah benar ia sudah kentut ataukah belum. Padahal
perasaannya baru mungkin, hanya was-was atau belum yakin. Ada kaedah yang telah
diajarkan dalam Islam bahwasanya yakin tidak bisa dikalahkan dengan ragu-ragu.
Ada hadits yang bisa diambil pelajaran, di mana hadits ini dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani saat membahas pembatal wudhu dalam kitab beliau Bulughul Marom (hadits no. 71),
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه
– قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا وَجَدَ
أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا, فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ: أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ,
أَمْ لَا? فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ اَلْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا, أَوْ
يَجِدَ رِيحًا – أَخْرَجَهُ مُسْلِم
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu
ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari
masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau.” Diriwayatkan oleh
Muslim. (HR. Muslim no. 362).
Berpegang
dengan Keadaan Suci
Pelajaran pertama yang bisa kita gali bahwa orang yang dalam
keadaan suci jika ia ragu apakah ia berhadats ataukah tidak dan itu masih dalam
taraf ragu-ragu, maka ia tidak diharuskan untuk wudhu. Yang dalam keadaan
ragu-ragu seperti ini tetap shalat hingga dia yakin telah datang hadats, bisa
jadi dengan mendengar suara kentut atau mencium baunya.
Jauhkan
Was-Was
Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap muslim mesti menghilangkan
was-was pada dirinya. Jangan ia perhatikan was-was tersebut karena hal itu
hanya mempersulit diri. Diri seseorang hanya merasa payah karena terus menuruti
was-was.
Abu Daud berkata, “Aku pernah mendengar Imam Ahmad ditanya oleh
seseorang yang ragu mengenai wudhunya. Imam Ahmad lantas berkata, jika ia
berwuhdhu, maka ia tetap dianggap dalam kondisi berwudhu sampai ia yakin
berhadats. Jika ia berhadats, maka ia tetap dianggap dalam kondisi berhadats
sampai ia berwudhu.” Lihat Masail Al Imam Ahmad, hal. 12.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كُلُّ احْتِمَالٍ لَا يَسْتَنِدُ إلَى
أَمَارَةٍ شَرْعِيَّةٍ لَمْ يُلْتَفَتْ إلَيْهِ
“Setiap yang masih mengandung sangkaan (keraguan) yang tidak ada
patokan syar’i sebagai pegangan, maka tidak perlu diperhatikan.” (Majmu’
Al Fatawa, 21: 56)
Contoh
lain terkait kaidah sifat ragu
1.
Siapa yang yakin dalam keadaan suci,
kemudian dalam keadaan ragu-ragu datang hadats, maka ia tetap dalam
keadaan thaharah (suci), baik hal ini didapati ketika
shalat atau di luar shalat. Inilah pendapat madzhab Syafi’i dan mayoritas ulama
lainnya dari salaf (ulama dahulu) dan khalaf (ulama belakangan). Demikian
kata Imam Nawawi rahimahullah sebagaimana
dalam Syarh Shahih Muslim, 4:47.
2.
Siapa yang berhadats pada Shubuh hari,
kemudian ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka
ia dihukumi seperti keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats. Jadinya ia
harus berwudhu. Karena keadaan awal itulah keadaan yang yakin dan tidak bisa
dikalahkan dengan hanya sekedar ragu-ragu. (Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah,
hlm. 77)
3.
Barangsiapa yang pada sore hari
menjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu akan
tenggelamnya matahari, maka batal puasanya. Karena yang yakin adalah matahari
belum tenggelam dan yakin tersebut tidak bisa dihilangkan dengan sekedar
ragu-ragu. Lihat Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah,
hlm. 283.
4.
Seseorang membeli air dan mengklaim
setelah itu bahwa air tersebut najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang
jadi pegangan adalah perkataan si penjual. Karena hukum asal air–inilah hukum
yakinnya–adalah suci, tidak bisa dihilangkan dengan ragu-ragu. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, hlm. 283).
5.
Jika seseorang bepergian jauh ke suatu
negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka waktu yang lama. Lalu
muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada berita yang
menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin. Maka tidak
boleh ia dinyatakan mati sampai datang berita yang pasti (yang yakin). Sehingga
ahli waris tidak bisa begitu saja membagi hartanya sebagai warisan sampai yakin
akan kematiannya. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah,
hlm. 282).
6.
Jika seseorang yakin di pakaiannya
terdapat najis, namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka
kehati-hatian, ia menggosok seluruh bagian dari pakaiannya. Karena keraguan
tidak bisa menghilangkan yang yakin. (Al-Mufasshal fi Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyyah, hlm. 282).
7.
Tidak wajib bagi pembeli menanyakan
kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau
bukan, atau barang tersebut barang curian ataukah bukan. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالْأَصْلُ فِيمَا بِيَدِ الْمُسْلِمِ
أَنْ يَكُونَ مِلْكًا لَهُ
“Hukum asal segala sesuatu di tangan seorang
muslim adalah miliknya” (Majmu’ah Al-Fatawa,
29:323). Inilah hukum asalnya dan inilah yang yakin. Yang yakin ini tidak bisa
dikalahkan dengan sekedar keraguan.
8.
Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu
dalam masalah menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan)
bahkan tidak disunnahkan sama sekali untuk menanyakannya. Bahkan yang
dianjurkan adalah membangun perkara di atas hukum asal yaitu suci. Jika ada
indikasi yang menunjukkan najis, barulah dikatakan najis. Jika tidak, maka
tidak perlu sampai dianjurkan untuk menjauhi penggunaan air tersebut cuma atas
dasar sangkaan. Namun jika telah sampai hukum yakin, maka ini masalah lain
lagi. Demikian yang dicontohkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Al-Fatawa, 21:56.
9.
Ada seseorang yang telah selesai
shalat, lantas ia ragu-ragu apakah mengerjakan shalat Zhuhur tadi tiga ataukah
empat raka’at. Keragu-raguan seperti ini tidak perlu diperhatikan. Asalnya
shalatnya sah. Selama tidak datang yakin kalau ia mengerjakan shalat tiga
raka’at. Kalau memang yakin baru tiga raka’at, maka ia menambah lagi raka’at
yang keempat selama jedanya tidak lama, lalu ia salam, dan kemudian tutup
dengan sujud sahwi. Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah,
hlm. 180.
Klaten, 24 Mei 2022
Dibuat
oleh: Amirul Huda Syaifullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar