Pelajaran Itsar di Bulan Ramadhan
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan orang yang memberi makan buka puasa,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka
baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang
berpuasa tersebut sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi, no. 807)
Disyari’atkan banyak berderma ketika puasa seperti saat memberi
makan buka puasa adalah supaya orang kaya dapat merasakan orang yang biasa
menderita lapar sehingga mereka pun dapat membantu orang yang sedang kelaparan.
Oleh karenanya sebagian ulama teladan di masa silam ditanya,
“Kenapa kita diperintahkan untuk berpuasa?” Jawab mereka, “Supaya yang kaya
dapat merasakan penderitaan orang yang lapar. Itu supaya ia tidak melupakan
deritanya orang yang lapar.”
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku sangat senang ketika
melihat ada yang bertambah semangat mengulurkan tangan membantu orang lain di
bulan Ramadhan karena meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga
karena manusia saat puasa sangat-sangat membutuhkan bantuan di mana mereka
telah tersibukkan dengan puasa dan shalat sehingga sulit untuk mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan mereka”
Yang dicontohkan oleh para ulama di antaranya ‘Abdullah bin
Al-Mubarak dan Al-Hasan Al-Bashri, mereka biasa memberi makan pada orang lain,
padahal sedang berpuasa (sunnah).
Itsar itu apa? Itsar adalah mendahulukan orang lain dalam urusan
dunia walau kita pun sebenarnya butuh. Secara bahasa itsar bermakna
mendahulukan, mengutamakan. Sedangkan secara istilah, yang dimaksud itsar
adalah mendahulukan yang lain dari diri sendiri dalam urusan duniawiyah
berharap pahala akhirat. Itsar ini dilakukan atas dasar yakin, kuatnya mahabbah
(cinta) dan sabar dalam kesulitan.
Contohnya dapat dilihat pada orang Muhajirin dan Anshar dalam QS. Al-Hasyr ayat 9.
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ
مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى
صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ
كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
ٱلْمُفْلِحُونَ
“Dan orang-orang yang telah
menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 9).
Yang dimaksudkan ayat ini adalah ia mendahulukan mereka yang butuh
dari kebutuhannya sendiri padahal dirinya juga sebenarnya butuh.
Dalam masalah dunia, kita bisa mendahulukan orang lain, itu memang
yang lebih baik. Karena dalam masalah dunia, kita harus memperhatikan orang di
bawah kita agar kita bise mensyukuri nikmat Allah.
Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki
kelebihan harta dan penampilan, maka lihatlah kepada orang yang berada di
bawahnya.” (HR. Bukhari, no. 6490 dan Muslim, no. 2963)
Dari Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin Hubsyi Al-Khats’ami, bahwa Nabi juga pernah ditanya sedekah mana yang paling afdal. Jawab beliau,
جَهْدُ المُقِلِّ
“Sedekah dari orang yang serba kekurangan.” (HR.
An-Nasa’i, no. 2526. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Klaten, 15 Mei 2022, 06.56:27
Amirul
Huda Syaifullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar