Hukum Qadha’ Shalat
Shalat
itu begitu penting karena bagian dari rukun Islam
Dalam hadits disebutkan,
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ
اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ
عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً
رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ
وَصَوْمِ رَمَضَانَ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ“
Dari Abu ‘Abdurrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin
Al-Khattab radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan
bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah; menunaikan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji ke Baitullah; dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari, no. 8; Muslim, no. 16)
Ada Shalat Al-Adaa’ dan Al-I’adah
Shalat al-adaa’ adalah mengerjakan shalat pada waktunya.
Shala al-i’adah adalah
mengerjakan shalat untuk kedua kalinya.
Imam Al-Hashkafi mengatakan bahwa shalat al-adaa’ adalah
mengerjakan shalat pada waktunya. Sedangkan shalat al-i’aadah adalah
mengerjakan shalat seperti yang wajib pada waktunya karena ada yang kurang,
namun bukan sesuatu yang membatalkan shalat. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah,
3:24.
Contoh hadits yang menyebutkan tentang shalat al-i’adah.
Dari Yazid bin Al-Aswad, ia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا
قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا
مَعَهُ قَالَ عَلَيَّ بِهِمَا فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ
مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَدْ
صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي
رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ
فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Aku pernah menghadiri shalat Shubuh
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid Al-Khaif.
Ketika selesai shalat, ternyata ada dua orang laki-laki di belakang shaf yang
tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda, ‘Bawalah dua orang laki-laki
tersebut kepadaku.’ Dibawalah kedua laki-laki itu oleh para shahabat ke hadapan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya.
Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk
shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian lakukan. Apabila
kalian telah shalat di rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid yang
sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah kalian bersama mereka,
karena shalat itu bagi kalian terhitung sebagai shalat sunnah.’”
(HR. An-Nasa’i, no. 858. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits inihasan).
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ
أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ
عَنْ وَقْتِهَا. قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ صَلِّ الصَّلاَةَ
لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?” Abu Dzar berkata, “Aku berkata “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat sunnah.” (HR. Muslim, no. 648).
Ibadah
dilihat dari masalah qadha’
Ada ibadah yang boleh diqadha’ setiap waktu seperti nadzar.
Ada ibadah yang boleh diqadha’ pada yang semisal waktunya saja
seperti haji.
Ada ibadah yang menerima adaa’ dan qadha’ seperti haji, puasa, dan
shalat.
Ada ibadah yang menerima adaa’ saja, dan tidak ada qadha’ seperti
shalat Jumat, hanya dikerjakan pada waktu Zhuhur saja.
Ada ibadah yang masih boleh ditunda waktu qadha’nya seperti menunda qadha’ puasa Ramadhan, tidak ditunda sampai Ramadhan berikutnya menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Siapa
yang wajib mengqadha’ shalat?
Para fuqaha sepakat bahwa yang wajib mengqadha’ shalat
yang luput adalah orang yang lupa dan orang yang tertidur.
Para fuqaha’ menganggap bahwa orang yang mabuk juga
wajib mengqadha’ shalat, bahkan ada ulama yang menganggapnya sebagai ijmak
seperti diklaim Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
Namun ada pendapat ulama Hanabilah yang menyatakan bahwa orang mabuk tidak
wajib mengqadha’.
Yang jelas para ulama tidak berbeda pendapat bahwa wanita haidh, wanita nifas, dan orang kafir asli ketika masuk Islam tidak perlu mengqadha’ shalat yang luput.
Contoh
qadha shalat ketika tertidur
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ
أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ
أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى
“Jika salah seorang di antara
kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat
ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat
ketika ingat.” (QS. Thaha:14). (HR. Muslim, no. 684)
Orang yang luput dari shalat karena tertidur atau lupa, maka tidak ada dosa untuknya, namun wajib baginya mengqadha’ shalat ketika ia bangun atau ketika ia ingat. Lihat penjelasan dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 111783.
Adakah
qadha shalat bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja?
Menurut jumhur ulama tetap ada qadha’ bagi shalat yang ditinggalkan
dengan sengaja. Namun, sebagian ulama berpandangan bahwa tidak wajib qadha’
bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Yang jelas orang yang
meninggalkan shalat dengan sengaja telah terjatuh dalam dosa besar. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah yaitu menyesal, kembali
lagi mengerjakan shalat, dan bertekad tidak akan meninggalkannya lagi pada masa
akan datang. Hendaklah ia rajin mengerjakan pula amal shalih dan menutup
kesalahannya dengan rajin mengerjakan shalat sunnah.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata,
“Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sampai keluar waktunya,
maka tidak ada qadha’ baginya selamanya. Hendaklah ia memperbanyak amalan
kebaikan dan rajin mengerjakan shalat sunnah untuk memberatkan timbangannya
pada hari kiamat. Hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas
kesalahan-Nya.” (Al-Muhalla, 2:235).
Di antara dalil yang menyatakan tidak ada qadha’ adalah karena waktu shalat sudah ada batasannya sebagaimana disebutkan dalam ayat,
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Berarti tidak
boleh mengerjakan shalat di luar dari waktunya kecuali jika ada dalil.
Dalam Al-Muhalla (2:235) disebutkan bahwa karena Allah telah menetapkan waktu shalat punya batasan awal dan akhir, maka jika shalat tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, maka tidak boleh dilakukan setelah waktunya habis.
Mengingat
shalat yang luput di waktu shalat lainnya (berurutan)
Siapa
saja luput shalat lantas ia mengingatnya di waktu shalat lainnya, maka ia mengerjakan shalat yang luput terlebih dahulu, barulah
shalat yang ia dapati waktunya. Secara umum seperti itu. Ada
nukilan ijmak akan hal ini dari Imam Nawawi rahimahullah.
Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 189. Walaupun dalam
segi urutan mengerjakan shalat yang luput (al-faaitah) dan
shalat yang didapati waktunya (al-haadirah) ada
perbedaan pendapat di antara para ulama akan wajib dan sunnahnya.
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahdalam Manhajus Salikin,
وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ
عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.”
Penghalang
Hilang Sebelum Habis Waktu Shalat
Siapa
saja yang suci dari haidh, sadar dari gilanya, siuman setelah pingsan, atau
masuk Islam dari sebelumnya kafir lalu ia mendapati waktu shalat
sekadar satu rakaat, maka tetap ia mengerjakan shalat. Ada ijmak dalam
hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan Imam Asy-Syaukani.
Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 190.
Disebutkan
dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Siapa yang mendapatkan satu rakaat, maka ia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari, no. 580 dan Muslim, no. 607)
Jangan
kira sekadar qadha’ shalat sudah menghapuskan dosa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj
As-Sunnah (5:233) menyatakan bahwa ulama-ulama yang
memerintahkan untuk mengqadha’ shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan
sengaja tidaklah mengatakan bahwa dengan qadha’ semata lantas dosa meninggalkan
shalatnya jadi terhapus atau jadi ringan. Jika ia luput dari shalat hingga
keluar waktu dan dilakukan dengan sengaja, maka tetap butuh untuk
bertaubat sebagaimana dosa-dosa lainnya. Ia butuh
memperbanyak kebaikan untuk menghapuskan kesalahannya atau menghapuskan
hukumannya.
Klaten, 18 Maret 2022, 07:40
Dibuat
oleh: Amirul Huda Syaifullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar