Cari Blog Ini

Selasa, 24 Agustus 2021

Ihwal Mana yang Benar dan yang Salah

 

Ihwal Mana yang Benar dan yang Salah

Bukan saya merasa sombong, paling idealis, atau paling ngerti sistem pendidikan. Tapi saya merasa orang yang masih menggunakan akal dan nuraninya, tentu bisa membedakan mana yang benar dan yang salah.

***

Hari ini saya mengajar di sebuah rumah tahfidz, belum lama, baru berlangsung selama 2 hari. Hari pertama saya jadikan sebagai masa perkenalan seperti umumnya guru memulai pengajaran. Disamping sedikit mengenal background murid yang saya ajar, sembari juga memberikan penjelasan tentang meluruskan niat, kenapa kita harus belajar di rumah tahfidz, juga menanyakan cita-cita, dan meminta mereka membuat pencapaian yang ingin diraih selama proses belajar.

Setelah itu dihari kedua, maksudnya hari ini. Saya membuka pengajaran dengan mengecek bacaan para murid, dan hanya sedikit bacaannya yang benar sesuai dengan ilmu yang saya miliki.

***

Sedikit penjelasan tentang rumah tahfidz ini. Setelah rapat pertama dengan kepala dan para asatidz, sebelum besoknya saya masuk untuk mengajar. Saya disodori lembar absen yang berisikan nama-nama murid sesuai pembagaian halaqoh/kelompok yang telah dibentuk oleh kepala tahfidz. Total ada 21 murid yang akan saya ampu dalam halaqoh, dengan usia rata-rata anak SD. Karena belum paham sistemnya, maka sedikit saya tanyakan dalam rapat tentang sistem pendidikan dan target apa saja yang ingin dicapai. Untuk halaqoh saya, para murid diberi target setengah juz 30 yang harus mereka hafalkan. Untuk jadwal mengajar ada 4 hari, dengan waktu 1 jam, dari jam 4 sore sampai 5 sore.

***

Setelah saya mengecek bacaan para murid dan mengetahui kemampuan mereka. Saya masih mencoba menyesuaikan sistem setoran hafalan dengan guru sebelumnya yang mengampu di halaqoh mereka, supaya tidak kaget atau bingung kalau saya langsung merubah peraturannya. Sistem setoran hafalan yaitu minimal setor 5 ayat, siapa yang sudah siap bisa langsung menyetorkan hafalannya.

Setelah menunggu beberapa menit, ada murid yang memberanikan diri untuk menyetorkan hafalannya kepada saya. Hanya 5 ayat dengan beberapa kesalahan dalam bacaan dan hafalannya. Setiap murid yang telah menyetor akan saya berikan tanda tangan di buku mutaba’ah atau buku data pencapaian hafalan, dengan memberi penilaian dan catatan apakah hafalannya boleh dilanjutkan atau harus mengulangi.

Tidak terasa saat murid yang terakhir menyetorkan hafalannya, waktu telah menunjukkan pukul 5 sore. Halaqoh ditutup dengan doa bersama.

***

Murid yang hadir saat itu hanya 8 anak, tidak 21 sesuai yang tertera di absen yang saya bawa. Saya berfikir kalau murid yang hadir hanya beberapa saja, membutuhkan waktu selama 1 jam untuk mereka bisa menyetorkan hafalannya masing-masing. Lalu bagaimana jika mereka datang semua?.

Jika saya tidak menerima setoran atau terpaksa menutup halaqoh jika waktu sudah habis, tentu akan banyak murid yang tidak mendapat giliran. Bagi saya mungkin tidak masalah, lalu bagaimana dengan para murid yang sudah mempersiapkan hafalan ketika halaqoh berlangsung. Karena memang mereka membutuhkan waktu beberapa menit untuk mempersipkan hafalan di halaqoh, walaupun sebelumnya mereka sudah menghafalkannya di rumah. Atau bahkan kadang ada murid yang tidak mau menghafal di rumah, tentu waktu yang mereka butuhkan lebih lama. Kalau semua persiapan di halaqoh pada saat itu harus ditunda dan disetorkan besoknya, tentu akan banyak yang mereka lupa dan harus mempersiapkan lagi dari awal.

Pikiran saya juga mengarah ke orang tua mereka, tentu banyak yang tidak terima jika saya melakukan hal yang demikian dan pastinya akan berimbas juga ke pihak rumah tahfidz.

Benar setelah saya menanyakan beberapa kejadian, pernah ada salah seorang guru yang mendapat tanggapan tidak baik karena pencapaian hafalan murid di halaqohnya hanya sedikit, tidak seperti di halaqoh lain. Usut punya usut, guru ini sering memberikan beberapa materi seperti bercerita atau semisalnya sehingga waktu yang seharusnya dipakai untuk setoran sedikit terpotong karena hal tersebut.

Kalau saya tidak memberikan materi selain hanya setoran hafalan, sedangkan waktu sejam di halaqoh saja tidak cukup untuk semua santri bisa menyetorkan hafalannya. Bagaimana jika saya memberikan materi fa fi fu fe fo. Anda bisa memperkirakannya sendiri.

***

Masih berpikir dengan permasalahan yang sama, hanya sedikit bergeser terkait eksistensi saya sebagai seorang pengajar. Tugas seorang pengajar mestinya memberikan pengajaran kepada murid. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan ilmu dan arahan supaya mendatangkan kebermanfaatan kepada yang diajar.

Jika saat ini, kedatangan saya sebagai pengajar hanya sekedar menerima setoran hafalan dan selesai. Terus apa bedanya jika saya memilih menyuruh murid untuk menyetorkan hafalannya ke orang tua atau kalau tidak ke temannya tanpa perlu ambil susah untuk berangkat ke rumah tahfidz, belum lagi untuk membayar SPP bulanan.

Yoweslah ambil saja mereka beralasan mendaftarkan anaknya ke rumah tahfidz, agar hafalan anaknya disimak dengan baik dan bisa dibetulkan jika ada kesalahan menurut gurunya. Maka urusan setelah ini “masrahake anake”, selebihnya menjadi tanggung jawab saya. Hanya saja belajar dari kejadian sebelumnya, pasrahnya mereka kebanyakan masih diikuti dengan intervensi kepada para pengajar. Harus sedemikian yang mereka inginkan, tanpa mau tau bagaimana cara anak mereka dididik, pokoknya harus sedemikian yang mereka inginkan.

Sebagai seorang pengajar tentu saya berusaha tidak mengecewakan target pencapaian yang diinginkan pihak rumah tahfidz, juga para orang. Tapi disisi lain dengan sistem pendidikan seperti ini, saya hampir pesimis bisa mencapai target yang diberikan.

***

Sistem Pendidikan Merusak Esensi Pendidikan.

Para murid maju menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada saya. Banyak bacaan yang tidak tepat dan hafalan yang kurang lancar. Jika kesalahan terletak pada hafalan yang kurang lancar, tentu saya tinggal menyuruhnya untuk mengulang hafalan dan menyetorkan kembali. Namun bagaimana dengan murid yang salah dalam hal bacaan atau bahkan belum bisa membaca Al-Qur’an, bagaimana saya menyuruhnya menghafal sendiri sedangkan membaca dengan benar saja belum bisa. Kalau saya musti mengajarinya membaca Al-Qur’an terlebih dahulu tentu sulit untuk mencapai target yang diberikan rumah tahfidz, dan akan mengganggu aktivitas murid yang lainnya. Belum lagi masalah waktu mengajar, dan permasalahan sebagaimana pertimbangan kita sebelumnya.

Jika saya dengan legowo menerima apapun hasil setoran, dan membuat pernyataan “palsu” di buku mutaba’ah yang tidak sesuai dengan hasil setoran mereka, bukankah seperti ini dinamakan pembohongan. Bagaimana saya mempertanggung jawabkannya?.

***

Sistem pendidikan merusak esensi pendidikan. Bagaimana tidak?, esensi pendidikan yang seharusnya menjadikan orang tidak tahu menjadi tahu, bukan pura-pura tahu. Menjadikan orang mengerti, bukan sok ngerti. Dapat membawa perubahan kebaikan bagi dirinya, juga dirasakan orang sekitarnya.

Tujuan tulisan ini ingin mengajak anda melek sebentar, memandang secara rasional bagaimana jalannya sistem pendidikan di sekililing kita.

Dimulai dari pelaksanaan sistem pendidikan yang meniadakan proses pendidikan. Lembaga pendidikan berlomba-lomba mengejar pencapaian dan memaparkannya pada publik dengan hasil yang tidak semestinya, hanya supaya mendapat sanjungan sebagai lembaga pendidikan yang berkompeten.

***

Pernah suatu ketika teman saya mengeluh kepada saya, tentang kesulitan ia menerima pelajaran sewaktu di pondok, belum lagi tanggungan yang diberikan pondok kepadanya untuk bisa meyetorkan hafalan Al-Qur’an 30 juz dalam waktu 2 tahun sebagai syarat menerima ijazah karena memang pondoknya adalah sebuah pondok tahfidz.

Setiap waktu tidak lewat dari belajar dan mempersiapkan hafalan, seru teman saya. Namun hasil yang ia dapatkan sehari juga tidak banyak, paling banter dapat 1 halaman, dibanding dengan teman-temanya yang jauh diatasnya, itu saja besoknya lupa dengan hafalahn yang telah disetorkan hari itu. Berkutat dengan waktu sudah, menerapkan segala metode juga sudah, tapi pencapaiannya tidak mengalami peningkatan.

Sedikit saya menilik tentang riwayat pendidikannya yang dulu. Ia adalah lulusan siswa SMK dan saat ini adalah kali pertama ia masuk pondok. Maka wajar bagi saja jika dia memerlukan waktu lebih untuk menyesuaikans peraturan pondok beserta target-target pencapainnya.

Ternyata lebih dari itu, teman saya baru bisa membaca Al-Qur’an waktu kelas 3  SMK. Dari situ saya mulai memahami bahwa sebenarnya teman saya bukan tidak mampu, hanya saja ia baru difase awal memulai proses.

Pembahasan saya beralih ke kemampuan, karena boleh jadi ada orang yang karena sebab IQ (intelligence quotient) yang tinggi, menyebabkan ia lebih mudah dalam proses belajar. Sedangkan hasil yang saya dapati, teman saya sejak dulu memang lemah dalam hafalan, selalu mendapat nilai dan ranking yang buruk, dan terkenal sebagai siswa yang nakal. Karena teman saya merasa ingin tobat dan hijrah, maka ia mendaftar ke pondok tahfidz dan tidak disangka ternyata diterima.

***

Belajar dari pohon bambu, bagaimana proses pendidikan yang baik berjalan. Di sebuah artikel yang saya baca menjelaskan bahwa diawal pertumbuhan bambu, satu hingga 3 tahun, pertumbuhannya dirasa lambat. Namun, sebenarnya selama kurun waktu tersebut, akar bambu sedang tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan bambu baru terlihat secara signifikan setelah 4 tahun, dengan akar-akarnya yang juga tumbuh subur. Pada tahun 5, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang bambu akan muncul.

Proses pertumbuhan bambu bukan tanpa alasan. Pertumbuhan yang demikian, karena mengingat dikemudian hari ia akan menjadi pohon yang menjulang tinggi sehingga ia mempersiapkan akar-akar yang kuat untuk menancap ke tanah.

Belajar tentang proses pertumbuhan sebatang pohon kurma. Ketika hendak bertumbuh, pohon kurma harus mengalami hal-hal yang sulit untuk tumbuh. Setelah benihnya ditanam, sang petani kurma akan meletakkan sebuah batu besar di atasnya dengan sengaja. Hal tersebut bertujuan agar ketika benih ingin keluar dari tanah, tapi ada tekanan dari atas maka terlebih dulu menghujam ke bawah untuk mengukuhkan akar. Setelah akarnya kuat mencengkram tanah, benih kurma mulai menjulang ke atas dan dapat menyingkirkan batu diatasnya.

Seperti itulah perumpamaan seseorang dalam proses belajar sebagaimana kedua pohon tadi. Ada masanya seorang menanggung kesusahan diawal proses belajar sebagai awal membentuk pondasi keilmuan yang kuat, dan pada masanya nanti buah dari setiap usahanya akan dapat dipanen dengan baik. Begitu juga ketika menghadapi masalah dikemudian hari, tidak mudah tergoyahkan sebagaimana pohon yang berakar kuat dan menancap ke tanah.

***

Layaknya ayam yang salah masuk kandang, maka tidak salah bagi sang ayam untuk keluar dari kandang dan memilih kandang yang sesuai dengan dirinya. Tapi tidak habis pikir lagi, si empunya kandang tanpa mengenal siapa yang masuk kandangnya, mempersilahkan begitu saja, dirawat, dibesarkannya ayam tadi, dan diharapkan susunya suatu saat nanti.

Atau bagai orang tua yang mempunya bayi yang baru bisa merangkak, dipaksa untuk berjalan dan berlari untuk mencari dan membawakan kepada mereka apa yang mereka inginkan.

Mungkin seperti itu saya menggambarkan kondisi teman saya. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pihak pondok yang menerima orang sepertinya. Saya juga tidak  bisa sepenuhnya menyalahkan teman saya yang salah dalam memilih pondok. Keduanya mempunyai sebab dari akibat masing-masing.

Tidak ada orang yang bodoh, mereka hanyalah terkena sebab yang ditimbulkan sistem yang salah. Bagaimana bisa seorang seperti teman saya bisa diterima di pondok tahfidz, kemudian tanpa menimbang terlebih dahulu, pondok memberikan target begitu besar diluar dari kemampuanya.

Saat ini total 7 juz pencapaian hafalan Al-Qur’an teman saya selama setahun di pondok. Terhitung kurang 1 tahun lagi waktu yang ia punya untuk menambah kekuranganya atau ia harus bersiap untuk tidak mendapatkan ijazah sama sekali. Pikir saya, andaikan ia masuk pondok yang menargetkan hanya 1 juz atau bahkan tidak ada target hafalan sama sekali. Melihat pencapaiannya sekarang tentunya ia sudah mendapat penghargaan yang luar biasa.

***

Pembahasan pada tulisan ini untuk menjelaskan bagaimana kejamnya sistem pendidikan mengalahkan harapan seseorang untuk mendapatkan ilmu yang sejati, dan membohongi harapan orang tua untuk mendapatkan hak anak-anaknya menimba ilmu dengan semestinya.

Sebuah lembaga pendidikan dengan visi dan misinya, semestinya merancang sistem pendidikan yang telah diukur dan dijangkakan terlebih dahulu berdasarkan kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka buat. Tidak hanya karena ingin mendapatkan popularitas sehingga membuat berbagai macam progam-progam yang tidak realistis dengan ekspektasi tinggi, tapi dalam pelaksanannya tidak benar-benar terealisasi dan hanya sebatas klaim pencapaian yang tidak berdasarkan fakta.