Ihwal Mana
yang Benar dan yang Salah
Bukan
saya merasa sombong, paling idealis, atau paling ngerti sistem pendidikan. Tapi
saya merasa orang yang masih menggunakan akal dan nuraninya, tentu bisa
membedakan mana yang benar dan yang salah.
***
Hari
ini saya mengajar di sebuah rumah tahfidz, belum lama, baru berlangsung selama
2 hari. Hari pertama saya jadikan sebagai masa perkenalan seperti umumnya guru
memulai pengajaran. Disamping sedikit mengenal background murid yang saya ajar,
sembari juga memberikan penjelasan tentang meluruskan niat, kenapa kita harus
belajar di rumah tahfidz, juga menanyakan cita-cita, dan meminta mereka membuat
pencapaian yang ingin diraih selama proses belajar.
Setelah
itu dihari kedua, maksudnya hari ini. Saya membuka pengajaran dengan mengecek
bacaan para murid, dan hanya sedikit bacaannya yang benar sesuai dengan ilmu
yang saya miliki.
***
Sedikit
penjelasan tentang rumah tahfidz ini. Setelah rapat pertama dengan kepala dan para
asatidz, sebelum besoknya saya masuk untuk mengajar. Saya disodori lembar absen
yang berisikan nama-nama murid sesuai pembagaian halaqoh/kelompok yang telah
dibentuk oleh kepala tahfidz. Total ada 21 murid yang akan saya ampu dalam
halaqoh, dengan usia rata-rata anak SD. Karena belum paham sistemnya, maka
sedikit saya tanyakan dalam rapat tentang sistem pendidikan dan target apa saja
yang ingin dicapai. Untuk halaqoh saya, para murid diberi target setengah juz
30 yang harus mereka hafalkan. Untuk jadwal mengajar ada 4 hari, dengan waktu 1
jam, dari jam 4 sore sampai 5 sore.
***
Setelah
saya mengecek bacaan para murid dan mengetahui kemampuan mereka. Saya masih mencoba
menyesuaikan sistem setoran hafalan dengan guru sebelumnya yang mengampu di
halaqoh mereka, supaya tidak kaget atau bingung kalau saya langsung merubah peraturannya.
Sistem setoran hafalan yaitu minimal setor 5 ayat, siapa yang sudah siap bisa langsung
menyetorkan hafalannya.
Setelah
menunggu beberapa menit, ada murid yang memberanikan diri untuk menyetorkan
hafalannya kepada saya. Hanya 5 ayat dengan beberapa kesalahan dalam bacaan dan
hafalannya. Setiap murid yang telah menyetor akan saya berikan tanda tangan di
buku mutaba’ah atau buku data pencapaian hafalan, dengan memberi penilaian dan
catatan apakah hafalannya boleh dilanjutkan atau harus mengulangi.
Tidak
terasa saat murid yang terakhir menyetorkan hafalannya, waktu telah menunjukkan
pukul 5 sore. Halaqoh ditutup dengan doa bersama.
***
Murid
yang hadir saat itu hanya 8 anak, tidak 21 sesuai yang tertera di absen yang
saya bawa. Saya berfikir kalau murid yang hadir hanya beberapa saja, membutuhkan
waktu selama 1 jam untuk mereka bisa menyetorkan hafalannya masing-masing. Lalu
bagaimana jika mereka datang semua?.
Jika
saya tidak menerima setoran atau terpaksa menutup halaqoh jika waktu sudah
habis, tentu akan banyak murid yang tidak mendapat giliran. Bagi saya mungkin
tidak masalah, lalu bagaimana dengan para murid yang sudah mempersiapkan
hafalan ketika halaqoh berlangsung. Karena memang mereka membutuhkan waktu
beberapa menit untuk mempersipkan hafalan di halaqoh, walaupun sebelumnya mereka
sudah menghafalkannya di rumah. Atau bahkan kadang ada murid yang tidak mau
menghafal di rumah, tentu waktu yang mereka butuhkan lebih lama. Kalau semua
persiapan di halaqoh pada saat itu harus ditunda dan disetorkan besoknya, tentu
akan banyak yang mereka lupa dan harus mempersiapkan lagi dari awal.
Pikiran
saya juga mengarah ke orang tua mereka, tentu banyak yang tidak terima jika
saya melakukan hal yang demikian dan pastinya akan berimbas juga ke pihak rumah
tahfidz.
Benar
setelah saya menanyakan beberapa kejadian, pernah ada salah seorang guru yang
mendapat tanggapan tidak baik karena pencapaian hafalan murid di halaqohnya
hanya sedikit, tidak seperti di halaqoh lain. Usut punya usut, guru ini sering
memberikan beberapa materi seperti bercerita atau semisalnya sehingga waktu
yang seharusnya dipakai untuk setoran sedikit terpotong karena hal tersebut.
Kalau
saya tidak memberikan materi selain hanya setoran hafalan, sedangkan waktu
sejam di halaqoh saja tidak cukup untuk semua santri bisa menyetorkan hafalannya.
Bagaimana jika saya memberikan materi fa fi fu fe fo. Anda bisa memperkirakannya
sendiri.
***
Masih
berpikir dengan permasalahan yang sama, hanya sedikit bergeser terkait
eksistensi saya sebagai seorang pengajar. Tugas seorang pengajar mestinya
memberikan pengajaran kepada murid. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan
ilmu dan arahan supaya mendatangkan kebermanfaatan kepada yang diajar.
Jika saat
ini, kedatangan saya sebagai pengajar hanya sekedar menerima setoran hafalan
dan selesai. Terus apa bedanya jika saya memilih menyuruh murid untuk
menyetorkan hafalannya ke orang tua atau kalau tidak ke temannya tanpa perlu
ambil susah untuk berangkat ke rumah tahfidz, belum lagi untuk membayar SPP
bulanan.
Yoweslah
ambil saja mereka
beralasan mendaftarkan anaknya ke rumah tahfidz, agar hafalan anaknya disimak
dengan baik dan bisa dibetulkan jika ada kesalahan menurut gurunya. Maka urusan
setelah ini “masrahake anake”, selebihnya menjadi tanggung jawab saya. Hanya
saja belajar dari kejadian sebelumnya, pasrahnya mereka kebanyakan masih diikuti
dengan intervensi kepada para pengajar. Harus sedemikian yang mereka inginkan,
tanpa mau tau bagaimana cara anak mereka dididik, pokoknya harus sedemikian
yang mereka inginkan.
Sebagai
seorang pengajar tentu saya berusaha tidak mengecewakan target pencapaian yang
diinginkan pihak rumah tahfidz, juga para orang. Tapi disisi lain dengan sistem
pendidikan seperti ini, saya hampir pesimis bisa mencapai target yang
diberikan.
***
Sistem Pendidikan
Merusak Esensi Pendidikan.
Para murid
maju menyetorkan hafalan Al-Qur’an kepada saya. Banyak bacaan yang tidak tepat
dan hafalan yang kurang lancar. Jika kesalahan terletak pada hafalan yang
kurang lancar, tentu saya tinggal menyuruhnya untuk mengulang hafalan dan menyetorkan
kembali. Namun bagaimana dengan murid yang salah dalam hal bacaan atau bahkan belum
bisa membaca Al-Qur’an, bagaimana saya menyuruhnya menghafal sendiri sedangkan
membaca dengan benar saja belum bisa. Kalau saya musti mengajarinya membaca Al-Qur’an
terlebih dahulu tentu sulit untuk mencapai target yang diberikan rumah tahfidz,
dan akan mengganggu aktivitas murid yang lainnya. Belum lagi masalah waktu mengajar,
dan permasalahan sebagaimana pertimbangan kita sebelumnya.
Jika
saya dengan legowo menerima apapun hasil setoran, dan membuat pernyataan “palsu”
di buku mutaba’ah yang tidak sesuai dengan hasil setoran mereka, bukankah seperti
ini dinamakan pembohongan. Bagaimana saya mempertanggung jawabkannya?.
***
Sistem
pendidikan merusak esensi pendidikan. Bagaimana tidak?, esensi pendidikan yang seharusnya
menjadikan orang tidak tahu menjadi tahu, bukan pura-pura tahu. Menjadikan
orang mengerti, bukan sok ngerti. Dapat membawa perubahan kebaikan bagi
dirinya, juga dirasakan orang sekitarnya.
Tujuan
tulisan ini ingin mengajak anda melek sebentar, memandang secara rasional bagaimana
jalannya sistem pendidikan di sekililing kita.
Dimulai
dari pelaksanaan sistem pendidikan yang meniadakan proses pendidikan. Lembaga
pendidikan berlomba-lomba mengejar pencapaian dan memaparkannya pada publik dengan
hasil yang tidak semestinya, hanya supaya mendapat sanjungan sebagai lembaga
pendidikan yang berkompeten.
***
Pernah
suatu ketika teman saya mengeluh kepada saya, tentang kesulitan ia menerima
pelajaran sewaktu di pondok, belum lagi tanggungan yang diberikan pondok kepadanya
untuk bisa meyetorkan hafalan Al-Qur’an 30 juz dalam waktu 2 tahun sebagai
syarat menerima ijazah karena memang pondoknya adalah sebuah pondok tahfidz.
Setiap waktu
tidak lewat dari belajar dan mempersiapkan hafalan, seru teman saya. Namun hasil
yang ia dapatkan sehari juga tidak banyak, paling banter dapat 1 halaman,
dibanding dengan teman-temanya yang jauh diatasnya, itu saja besoknya lupa dengan
hafalahn yang telah disetorkan hari itu. Berkutat dengan waktu sudah, menerapkan
segala metode juga sudah, tapi pencapaiannya tidak mengalami peningkatan.
Sedikit
saya menilik tentang riwayat pendidikannya yang dulu. Ia adalah lulusan siswa SMK
dan saat ini adalah kali pertama ia masuk pondok. Maka wajar bagi saja jika dia
memerlukan waktu lebih untuk menyesuaikans peraturan pondok beserta target-target
pencapainnya.
Ternyata
lebih dari itu, teman saya baru bisa membaca Al-Qur’an waktu kelas 3 SMK. Dari situ saya mulai memahami bahwa
sebenarnya teman saya bukan tidak mampu, hanya saja ia baru difase awal memulai
proses.
Pembahasan
saya beralih ke kemampuan, karena boleh jadi ada orang yang karena sebab IQ (intelligence
quotient) yang tinggi, menyebabkan ia lebih mudah dalam proses belajar. Sedangkan
hasil yang saya dapati, teman saya sejak dulu memang lemah dalam hafalan, selalu
mendapat nilai dan ranking yang buruk, dan terkenal sebagai siswa yang nakal. Karena
teman saya merasa ingin tobat dan hijrah, maka ia mendaftar ke pondok tahfidz dan
tidak disangka ternyata diterima.
***
Belajar
dari pohon bambu, bagaimana proses pendidikan yang baik berjalan. Di sebuah
artikel yang saya baca menjelaskan bahwa diawal pertumbuhan bambu, satu hingga
3 tahun, pertumbuhannya dirasa lambat. Namun, sebenarnya selama kurun waktu
tersebut, akar bambu sedang tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan bambu baru
terlihat secara signifikan setelah 4 tahun, dengan akar-akarnya yang juga
tumbuh subur. Pada tahun 5, setelah pertumbuhan akarnya selesai, barulah batang
bambu akan muncul.
Proses
pertumbuhan bambu bukan tanpa alasan. Pertumbuhan yang demikian, karena mengingat
dikemudian hari ia akan menjadi pohon yang menjulang tinggi sehingga ia mempersiapkan
akar-akar yang kuat untuk menancap ke tanah.
Belajar
tentang proses pertumbuhan sebatang pohon kurma. Ketika hendak bertumbuh, pohon
kurma harus mengalami hal-hal yang sulit untuk tumbuh. Setelah benihnya ditanam,
sang petani kurma akan meletakkan sebuah batu besar di atasnya dengan sengaja. Hal
tersebut bertujuan agar ketika benih ingin keluar dari tanah, tapi ada tekanan
dari atas maka terlebih dulu menghujam ke bawah untuk mengukuhkan akar. Setelah
akarnya kuat mencengkram tanah, benih kurma mulai menjulang ke atas dan dapat menyingkirkan
batu diatasnya.
Seperti
itulah perumpamaan seseorang dalam proses belajar sebagaimana kedua pohon tadi.
Ada masanya seorang menanggung kesusahan diawal proses belajar sebagai awal membentuk
pondasi keilmuan yang kuat, dan pada masanya nanti buah dari setiap usahanya akan
dapat dipanen dengan baik. Begitu juga ketika menghadapi masalah dikemudian
hari, tidak mudah tergoyahkan sebagaimana pohon yang berakar kuat dan menancap ke
tanah.
***
Layaknya
ayam yang salah masuk kandang, maka tidak salah bagi sang ayam untuk keluar
dari kandang dan memilih kandang yang sesuai dengan dirinya. Tapi tidak habis
pikir lagi, si empunya kandang tanpa mengenal siapa yang masuk kandangnya, mempersilahkan
begitu saja, dirawat, dibesarkannya ayam tadi, dan diharapkan susunya suatu saat
nanti.
Atau
bagai orang tua yang mempunya bayi yang baru bisa merangkak, dipaksa untuk
berjalan dan berlari untuk mencari dan membawakan kepada mereka apa yang mereka
inginkan.
Mungkin
seperti itu saya menggambarkan kondisi teman saya. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan
pihak pondok yang menerima orang sepertinya. Saya juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan teman saya yang
salah dalam memilih pondok. Keduanya mempunyai sebab dari akibat masing-masing.
Tidak ada
orang yang bodoh, mereka hanyalah terkena sebab yang ditimbulkan sistem yang
salah. Bagaimana bisa seorang seperti teman saya bisa diterima di pondok tahfidz,
kemudian tanpa menimbang terlebih dahulu, pondok memberikan target begitu besar
diluar dari kemampuanya.
Saat
ini total 7 juz pencapaian hafalan Al-Qur’an teman saya selama setahun di pondok.
Terhitung kurang 1 tahun lagi waktu yang ia punya untuk menambah kekuranganya atau
ia harus bersiap untuk tidak mendapatkan ijazah sama sekali. Pikir saya, andaikan
ia masuk pondok yang menargetkan hanya 1 juz atau bahkan tidak ada target
hafalan sama sekali. Melihat pencapaiannya sekarang tentunya ia sudah mendapat
penghargaan yang luar biasa.
***
Pembahasan
pada tulisan ini untuk menjelaskan bagaimana kejamnya sistem pendidikan
mengalahkan harapan seseorang untuk mendapatkan ilmu yang sejati, dan membohongi
harapan orang tua untuk mendapatkan hak anak-anaknya menimba ilmu dengan
semestinya.
Sebuah
lembaga pendidikan dengan visi dan misinya, semestinya merancang sistem pendidikan
yang telah diukur dan dijangkakan terlebih dahulu berdasarkan kemampuan untuk
mencapai tujuan yang mereka buat. Tidak hanya karena ingin mendapatkan popularitas
sehingga membuat berbagai macam progam-progam yang tidak realistis dengan ekspektasi tinggi,
tapi dalam pelaksanannya tidak benar-benar terealisasi dan hanya sebatas klaim pencapaian
yang tidak berdasarkan fakta.