Pendidikan Anak Sejak Usia Dini
Bagaimana
Mencetak Anak Shalih?
Bagaimana mencetak anak shalih? Semua orang yang telah menikah dan memiliki anak pasti menginginkan anaknya jadi shalih dan bermanfaat untuk orang tua serta agamanya. Karena anak jadi penyebab bagi orang tua untuk terus mendapat manfaat lewat doa dan amalannya, walau orang tua telah tiada. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka
terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
diambil manfaatnya, atau doa anak yang shalih.” (HR.
Muslim no. 1631).
Berarti keturunan atau anak yang shalih adalah harapan bagi setiap orang tua. Terutama ketika orang tua telah tiada, ia akan terus mendapatkan manfaat dari anaknya. Manfaatnya bukan hanya dari doa seperti tertera dalam hadits di atas. Manfaat yang orang tua perolah bisa pula dari amalan anak.
Ada
beberapa kiat untuk mendidik anak sejak usia dini
1.
Faktor
Utama adalah Doa
Tanpa doa, sangat tak mungkin tujuan mendapatkan anak shalih bisa terwujud. Karena keshalihan didapati dengan taufik dan petunjuk Allah.
مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي
وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah,
maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka
merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’rof : 178)
Karena hidayah di tangan Allah, tentu kita harus banyak memohon
pada Allah. Ada contoh-contoh doa yang bisa kita amalkan dan sudah dipraktikkan
oleh para nabi di masa silam.
Doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku,
anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash
Shaffaat: 100).
Doa Nabi Zakariya ‘alaihissalam,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً
طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan
thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau
seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali
Imron: 38).
Doa ‘Ibadurrahman (hamba Allah yang beriman),
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa
dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami,
anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa]. (QS. Al-Furqan: 74)
Yang jelas doa orang tua pada anaknya adalah doa yang mustajab. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ
شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ
الْمَظْلُومِ
“Ada tiga doa yang mustajab yang tidak
diragukan lagi yaitu doa orang tua, doa orang yang bepergian (safar) dan doa
orang yang terzalimi.” (HR. Abu Daud no. 1536, Ibnu Majah no. 3862
dan Tirmidzi no. 1905. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Oleh karenanya jangan sampai orang tua melupakan doa baik pada anaknya, walau mungkin saat ini anak tersebut sulit diatur dan nakal. Hidayah dan taufik di tangan Allah. Siapa tahu ke depannya, ia menjadi anak yang shalih dan manfaat untuk orang tua berkat doa yang tidak pernah putus-putusnya.
2.
Orang Tua
Harus Memperbaiki Diri dan Menjadi Shalih
Kalau
menginginkan anak yang shalih, orang tua juga harus memperbaiki diri. Bukan
hanya ia berharap anaknya jadi baik, sedangkan ortu sendiri masih terus
bermaksiat, masih sulit shalat, masih enggan menutup aurat.
Bukti lain
pula bahwa keshalihan orang tua berpengaruh pada anak, di antaranya kita dapat
melihat pada kisah dua anak yatim yang mendapat penjagaan Allah karena ayahnya
adalah orang yang shalih.
Silakan lihat dalam surat Al-Kahfi,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ
لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang
ayahnya adalah seorang yang shalih.” (QS. Al-Kahfi: 82).
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz pernah mengatakan,
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يَمُوْتُ إِلاَّ
حَفِظَهُ اللهُ فِي عَقِبِهِ وَعَقِبِ عَقِبِهِ
“Setiap mukmin yang meninggal dunia (di mana
ia terus memperhatikan kewajiban pada Allah, pen.), maka Allah akan senantiasa
menjaga anak dan keturunannya setelah itu.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 467)
3.
Pendidikan
Agama Sejak Dini
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (13: 11) disebutkan,
“Bapak dan ibu serta seorang wali dari anak
hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia
baligh nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai
keimanan kepada Allah, malaikat, Al Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula
hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk
mengerti shalat, puasa, thoharoh (bersuci) dan semacamnya.”
Perintah yang disebutkan di atas adalah pengamalan dari sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.
Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ
وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ
عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk
mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak
mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur
mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
hadits ini shahih).
Kembali dilanjutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, “Hendaklah
anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai
haramnya mencuri, meminum khomr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat
semacam itu. Sebagaimana pula diajarkan bahwa jika sudah baligh (dewasa), maka
sang anak akan dibebankan berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak
kapan ia disebut baligh.”
Allah memerintahkan pada kita untuk menjaga diri kita dan anak
kita dari neraka sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6).
Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321), ‘Ali mengatakan
bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Beritahukanlah adab dan ajarilah
keluargamu.”
Di atas telah disebutkan tentang perintah mengajak anak untuk
shalat. Di masa para sahabat, mereka juga mendidik anak-anak mereka untuk
berpuasa. Mereka sengaja memberikan mainan pada anak-anak supaya sibuk bermain
ketika mereka rasakan lapar. Tak tahunya, mereka terus sibuk bermain hingga
waktu berbuka (waktu Maghrib) tiba.
Begitu pula dalam rangka mendidik anak, para sahabat dahulu
mendahulukan anak-anak untuk menjadi imam ketika mereka telah banyak hafalan Al
Qur’an.
Begitu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau berkata pada ‘Umar,
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ ، وَكُلْ
بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah
(bacalah bismillah) ketika makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang
ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022).\
Bukan hanya shalat dan adab saja yang diajarkan, hendaklah pula anak diajarkan untuk menjauhi perkara haram seperti zina, berjudi, minum minuman keras, berbohong dan perbuatan tercela lainnya. Kalau orang tua tidak bisa mengajarkannya karena kurang ilmu, sudah sepatutnya anak diajak untuk dididik di Taman Pembelajaran Al-Qur’an (TPA) atau sebuah pesantren di luar waktu sekolahnya. Moga kita dikaruniakan anak-anak yang menjadi penyejuk mata orang tuanya. Al-Hasan Al-Bashri berkata,
لَيْسَ شَيْءٌ أَقَرُّ لِعَيْنِ
المؤْمِنِ مِنْ أَنْ يَرَى زَوْجَتَهُ وَأَوْلاَدَهُ مُطِيْعِيْنَ للهِ عَزَّ
وَجَلَّ
“Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” (Disebutkan dalam Zaad Al-Masiir pada penafsiran Surat Al-Furqan ayat 74)
Meninggalkan Anak di Pondok Ketika Kecil
Pendidikan anak sangatlah urgent, lebih-lebih
pendidikan agama untuk saat ini. Namun kebanyakan orang tua menyampingkannya.
Masalah lain yang timbul, apakah setiap anak mesti dipondokkan, yaitu masuk ke
pesantren dan nginap di sana sehingga jauh dari orang tua? Ataukah sebaiknya di
awal waktu ketika anak belum baligh, ia tetap bersama orang tua di mana orang
tua menyekolahkan di tempat terdekat dan tetap memperhatikan pendidikan agama
si anak?
Jawaban yang tepat adalah ketika anak belum dewasa, sebaiknya ia tidak jauh dari ibunya. Beberapa hadits telah menyinggung hal ini seperti,
عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْحُبُلِىِّ عَنْ أَبِى أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- يَقُولُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ
بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »
Dari Abu ‘Abdirrahman Al Hubuliy, dari Abu Ayyub, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, “Barangsiapa memisahkan antara ibu dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di hari kiamat.” (HR. Tirmidzi no. 1283. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut hasan)
عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه ، يقول
: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول
الله إلى متى ؟ قال : « حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية »
Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada
beliau, “Wahai Rasulullah, sampai kapan?” “Sampai mencapai baligh bila
laki-laki dan haidh bila perempuan,” jawab beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (HR. Al Hakim dalam Mustadroknya. Al Hakim berkata bahwa hadits
tersebut sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari-Muslim).
Hadits-hadits di atas sebenarnya membicarakan
tentang hadhonah yaitu pengasuhan anak ketika terjadi
suami-istri bercerai, siapakah yang berhak mengasuh anak tersebut. Namun hadits
itu mengandung faedah lainnya. Hadits tersebut berisi penjelasan bahwa
sebaiknya anak tidak jauh dari ibu atau orang tuanya ketika usia dini. Karena
usia tersebut, anak masih butuh kasih sayang orang tua, terutama ibunya. Dan
jika anak terus dididik oleh orang tua, itu lebih manfaat dibanding dengan
menyerahkannya ke sekolah atau ke pihak pondok pesantren. Sehingga tidak tepat
ketika anak belum dewasa, anak sudah dipondokkan dan jauh dari orang tua.
Pilihan terbaik adalah anak tetap dekat orang tua dan ia disekolahkan di
sekolah sekitar rumahnya dengan tetap orang tua memperhatikan pendidikan
agamanya. Wallahu a’lam.
Lamongan, 05 September 2022, 13:26:14
Dibuat
oleh: Amirul Huda Syaifullah