7 Orang Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
Pertama,
keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Ahlul Bait)
Mereka tidak boleh makan harta zakat sedikitpun berdasarkan pernyataan tegas dari. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَنْبَغِي لِآلِ
مُحَمَّدٍ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ
“Sesungguhnya zakat tidak boleh diberikan
kepada keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, zakat adalah kotoran
manusia.” (HR. Muslim 1072, An-Nasai 2609, dan yang lainnya).
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَةَ، إِنَّمَا هِيَ
أَوْسَاخُ النَّاسِ، وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ، لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Zakat adalah kotoran harta manusia, tidak
halal bagi Muhammad, tidak pula untuk keluarga Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (HR. Abu Daud 2985)
Keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah semua keturunan bani Hasyim dan bani Abdul Muthalib.
Kedua,
orang kaya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ، وَلَا
لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ
“Tidak ada hak zakat untuk orang kaya, maupun
orang yang masih kuat bekerja..” (HR. Nasa’i 2598, Abu Daud 1633, dan
dishahihkan Al-Albani).
Orang kaya yang dapat zakat adalah orang kaya yang masuk dalam
daftar 8 golongan penerima zakat: Amil, muallaf, orang yang berperang, orang
yang terlilit utang karena mendamaikan dua orang yang sengketa, dan Ibnu Sabil
yang memiliki harta di kampungnya.
Ibnu Qudamah mengatakan,
Orang yang berhak menerima zakat meskipun kaya, ada lima: Amil, muallaf, orang yang berperang, orang yang kelilit utang karena mendamaikan sengketa, dan Ibnu Sabil yang memiliki harta di kampungnya. (Al-Mughni, 6/486).
Ketiga,
orang kafir
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau meminta agar Muadz mengajarkan tauhid, kemudian shalat, kemudian baru zakat. Beliau bersabda,
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ
عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
kepada mereka zakat harta mereka. Diambilkan dari orang kaya mereka dan
dikembalikan kepada orang miskin mereka.” (HR. Bukhari 1395 & Muslim 19).
Yang dimaksud ‘mereka’ pada hadis di atas adalah masyarakat Yaman
yang telah masuh islam.
Ibnul Mundzir menukil adanya kesepakatan ulama bahwa orang kafir tidak boleh menerima zakat. Beliau menegaskan,
وأجمعوا على أن لا صدقة على أهل الذمة في
شيء من أموالهم ما داموا مقيمين
“Para ulama sepakat bahwa orang kafir dzimmi tidak berhak mendapatkan zakat sedikitpun dari harta kaum muslimin, selama mereka mukim.” (Al-Ijma’, hlm. 49).
Keempat,
setiap orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki (wajib zakat)
Termasuk aturan baku terkait penerima zakat, zakat tidak boleh
diberikan kepada orang yang wajib dinafkahi oleh muzakki (wajib zakat). Seperti
istri, anak dan seterusnya ke bawah atau orang tua dan seterusnya ke atas.
(Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 23/326).
Zakat kepada anak atau orang tua yang tidak mampu, atau kepada orang yang wajib dia nafkahi, akan menggugurkan kebutuhan nafkah mereka. Sehingga ada sebagian manfaat zakat yang kembali kepada Muzakki.
Kelima,
orang fasik atau ahli bid’ah
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan kasus zakat yang pernah dialami orang muzakki
yang soleh,
Ada seseorang mengatakan, ‘Malam ini aku akan membayar zakat.’
Dia keluar rumah dengan membawa harta zakatnya. Kemudian dia berikan kepada
wanita pelacur (karena tidak tahu). Pagi harinya, masyarakat membicarakan, tadi
malam ada zakat yang diberikan wanita pelacur. Orang inipun bergumam: ‘Ya
Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan pelacur.’
‘Saya akan bayar zakat lagi.’ Ternyata
malam itu dia memberikan zakatnya kepada orang kaya. Pagi harinya, masyarakat
membicarakan, tadi malam ada zakat yang diberikan kepada orang kaya. Orang
inipun bergumam: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan
orang kaya.’
‘Saya akan zakat lagi.’ Malam
itu, dia serahkan zakatnya kepada pencuri. Pagi harinya, masyarakat
membicarakan, tadi malam ada zakat yang diberikan kepada pencuri. Orang inipun
bergumam: ‘Ya Allah, segala puji bagi-Mu. Zakatku jatuh ke tangan pelacur,
orang kaya, dan pencuri…” (HR. Bukhari 1421 dan Muslim 1022).
Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan,
قوله اللهم لك الحمد أي لا لي لأن صدقتي
وقعت بيد من لا يستحقها فلك الحمد حيث كان ذلك بإرادتك أي لا بإرادتي فإن إرادة
الله كلها جميلة
“Ucapan muzakki: ‘Ya Allah, segala puji
bagi-Mu’ maksud orang ini, aku salah sasaran, karena zakatku jatuh ke tangan
orang yang tidak berhak. Maka segala puji bagi-Mu, dimana kejadian itu semata
karena kehendak-Mu, artinya bukan kehendakku. Dan semua kehendak Allah itu
baik.” (Fathul Bari, Syarh Shahih Bukhari, 3/290).
Hadis ini menunjukkan bahwa orang fasik, seperti pencuri atau
pelacur.
Dalam Mausu’ah dinyatakan,
وقد صرح المالكية بأن الزكاة لا تعطى
لأهل المعاصي إن غلب على ظن المعطي أنهم يصرفونها في المعصية، فإن أعطاهم على ذلك
لم تجزئه عن الزكاة، وفي غير تلك الحال تجوز، وتجزئ
Malikiyah menegaskan, zakat tidak boleh
diberikan kepada ahli maksiat, jika muzakki memiliki dugaan kuat, zakat itu
akan mereka gunakan untuk melakukan maksiat. Jika dia berikan kepada ahli
maksiat untuk mendukung kemaksiatannya, zakatnya tidak sah. Namun jika
diberikan untuk selain tujuan itu, boleh dan sah. (Al-Mausu’ah
Al-Fiqhiyah, 23/328).
Syaikhul Islam menjelaskan,
فينبغي للإنسان أن يتحرى بها المستحقين
من الفقراء. والمساكين والغارمين وغيرهم من أهل الدين المتبعين للشريعة فمن أظهر
بدعة أو فجورا فإنه يستحق العقوبة بالهجر وغيره. والاستتابة فكيف يعان على ذلك
Selayaknya bagi seseorang untuk menempatkan
zakatnya pada orang yang berhak menerima zakat, baik orang fakir, miskin, orang
yang kelilit utang, atau lainnya, yang agamanya baik, mengikuti syariah. Karena
orang yang terang-terangan melakukan bid’ah atau perbuatan maksiat, dia berhak
mendapatkan hukuman dengan diboikot atau hukuman lainnya. Sehingga, bagaimana
mungkin dia dibantu (dengan zakat). (Majmu’ Fatawa, 25/87).
Sementara sebagian Hanafiyah membolehkan memberi zakat kepada ahli
bid’ah, selama dia termasuk 8 golongan yang berhak menerima zakat. Dengan
syarat, bid’ahnya tidak sampai menyebabkan dia keluar dari islam. (Hasyiyah Ibn
Abidin, 2/388).
Namun yang selayaknya kita dahulukan adalah penerima zakat yang baik, yang menjaga agamanya, bukan ahli bid’ah atau maksiat. Sehingga harta yang kita berikan, akan membantunya untuk melakukan ketaatan. Sebagaimana yang disarankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا
يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
“Jangan miliki teman dekat, kecuali seorang mukmin, dan jangan sampai makan makananmu, kecuali orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad 11337, Abu Daud 4832, Turmudzi 2395, dan sanadnya dinilai Hasan oleh Syuaib Al-Arnauth).
Keenam,
Budak
Dalam hukum fikih, budah seutuhnya milik tuannya. Sehingga yang
dilakukan budak, harus atas izin tuannya. Termasuk harta yang dimiliki budak,
harta ini menjadi milik tuannya. Misal, seorang budak diberi suatu benda oleh
orang lain, benda ini menjadi milik tuannya. Sehingga, ketika dia mendapat
zakat, sejatinya zakat ini diberikan kepada tuannya. Sementara zakat tidak
boleh diberikan kepada orang yang mampu.
Yang dikecualikan dalam hal ini adalah budak mukatab. Budak mukatab adalah budak yang melakukan perjanjian dengan tuannya untuk menebus dirinya jika dia sanggup membayar sejumlah uang. Misal, budak A dijanjikan tuannya, jika sanggup membayar 5 juta, dia bebas. Budak semacam ini berhak mendapatkan zakat.
Ketujuh,
anak yatim kaya
Di surat At-Taubah ayat 60, Allah telah menyebutkan 8 golongan
yang berhak menerima zakat. Dari delapan orang itu, tidak disebutkan anak
yatim. Artinya, yatim bukan kriteria orang yang berhak menerima zakat. Kecuali
jika yatim ini adalah orang miskin, karena tidak memiliki warisan.
Klaten, 22 August 2022
Dibuat
oleh: Amirul Huda Syaifullah